Menurut Ridwan, untuk mendorong bisnis satelit di Indonesia, pemerintah perlu melakukan beberapa hal.
Misal pertama, dengan memberikan peluang kepada swasta dan BUMN untuk menyediakan komunikasi satelit geostasioner, karena satelit GEO masih dibutuhkan, Pembanguannya bisa dengan isentif berupa dana universal service obligation (USO) dan APBN.
Kemudian, dengan membentuk satelit nasional milik Indonesia dan asing dengan akses ke NMS, serta gateway yang berada dalam yuridiksi Indonesia.
Ini untuk mengantisipasi tingginya satelit LEO yang cakupannya adalah global. "Di sini peran Satelit Bakti bukanlah sebagai kompetitor operator tapi jadi pelengkap," katanya.
"Hal ini penting untuk memastikan agar Negara memiliki kendali atas infrastruktur siber serta kebijakan internet seperti trust positive yang dijalankan oleh Kominfo dan kebijakan lawful intercept dapat dilaksanakan," lanjut Ridwan.
Sementara mantan Ketua ASSI Periode 2005-2011 Tonda Priyanto menyebutkan, Indonesia sudah memiliki satelit sejak 1976 yang berguna sebagai penanda kedaulatan bangsa, pemersatu bangsa serta menjamin keamanan bangsa.
Di Asia Pasifik, pertumbuhan bisnis satelit sangat tinggi terutama di India, didorong oleh penggunaan konektivitas global, meningkatnya peluncuram satelit LEO, serta meningkatnya peluncuran satelit internet untuk pertahanan.
"Untuk Indonesia, satelit menjadi bagian "complementary solutions" (solusi pelengkap) jaringan telekomunikasi, jadi GEO dan LEO bisa saling melengkapi sesuai dengan kebutuhannya, " kata Tonda.