WALAUPUN lubang pada lapisan ozon di atas Antartika sempat mengalami pemulihan pada masa pandemi kemarin, nampaknya belum bisa mencegah pemanasan global. Bahkan tercatat es laut Antartika kembali mencair akibat pemanasan global.
Studi terbaru dari Pusat Data Salju dan Es Nasional (National Snow and Ice Data Center/NSIDC) Amerika Serikat menyebut bahwa jumlah es di laut Antartika kemungkinan telah menurun hingga ke tingkat minimumnya pada awal tahun ini.
Pada 21 Februari, es laut Antartika kemungkinan telah mencapai cakupan minimum tahunannya yaitu 1,79 juta kilometer persegi. Ini merupakan angka terendah sejak pencatatan satelit dimulai 45 tahun lalu, seperti data yang dihimpun oleh NSIDC.
"Respons Antartika terhadap perubahan iklim berbeda dari Arktika," kata Ted Scambos, ilmuwan peneliti senior di lembaga penelitian Cooperative Institute for Research in the Environmental Sciences di Universitas Colorado Boulder, seperti dilansir dari Antara.
"Tren penurunan es mungkin merupakan tanda bahwa pemanasan global akhirnya berdampak terhadap es yang mengapung di sekitar Antarktika, tetapi perlu beberapa tahun lagi untuk memastikan hal itu," katanya.
Cakupan es laut yang lebih rendah menandakan bahwa gelombang laut akan menghantam pesisir lapisan es raksasa, dan semakin mengurangi lempengan es di sekitar Antartika, menurut Scambos.
Para ilmuwan NSIDC menekankan bahwa data cakupan es laut Antarktika tersebut hanyalah data awal. Perubahan angin atau pencairan es di akhir musim masih dapat mengurangi angka cakupan es.
Sekadar informasi, lapisan ozon memang sempat membaik seiring berkurangnya penggunaan CFC pada kulkas dan botol spray. Perbaikan ozon pun ini telah mengubah sirkulasi udara di atmosfer. Hal ini berpengaruh pada temperatur atmosfer, cuaca, tingkat curah hujan, serta dapat menyebabkan perubahan suhu laut dan konsentrasi garam.
Lapisan ozon adalah bagian dari atmosfer yang ada di lapisan stratosfer Bumi. Lapisan ini melindungi warga Bumi dari radiasi ultraviolet dari Matahari. Tanpa lapisan pelindung radiasi ini, nyaris tak ada yang bisa bertahan hidup di Bumi.
(Martin Bagya Kertiyasa)