Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Pakistan Darurat Penipuan Digital, Aparat Tak Berdaya Hadapi Ratusan Ribu Laporan

Rahman Asmardika , Jurnalis-Rabu, 10 September 2025 |14:05 WIB
Pakistan Darurat Penipuan Digital, Aparat Tak Berdaya Hadapi Ratusan Ribu Laporan
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)
A
A
A

Sektor keuangan terus menanggung dampak. Pada kuartal I 2024, Bank Sentral Pakistan (SBP) menjatuhkan denda lebih dari PKR 776 juta kepada delapan bank besar akibat kelemahan dalam AML, CDD, dan protokol mitigasi penipuan. Lembaga Ombudsman Perbankan menyelesaikan hampir 28.000 pengaduan penipuan digital pada 2024, dengan restitusi PKR 1,65 miliar. Namun pemulihan ini masih jauh dari menutup besarnya kerugian yang belum terlacak dan menurunnya kepercayaan konsumen.

Penipuan digital telah berevolusi menjadi kejahatan terorganisasi berskala industri. Pada Juli 2025, Badan Investigasi Kejahatan Siber Nasional (NCCIA) membongkar skema Ponzi besar yang beroperasi dari pusat panggilan di Faisalabad, menangkap 149 tersangka termasuk warga negara asing. Sementara itu, Otoritas Pasar Modal (SECP) menandai 141 aplikasi pinjaman ilegal yang memanfaatkan platform seperti Facebook dan WhatsApp, banyak di antaranya muncul kembali dengan nama baru setelah diturunkan regulator.

Laporan Dewan Keamanan Siber Pakistan 2024 menggambarkan situasi mengkhawatirkan: lebih dari 60% perusahaan gagal menerapkan protokol dasar seperti enkripsi dan autentikasi multifaktor. Lembaga internasional mencatat hal ini. Bank Dunia dan IMF kini mengklasifikasikan penipuan digital sebagai risiko ekonomi utama, memperingatkan bahwa lemahnya penegakan dan rendahnya kepercayaan publik menghambat inklusi keuangan, menahan investasi, dan menekan pertumbuhan PDB.

Walau ada upaya legislasi—termasuk PECA 2016, Kebijakan Keamanan Siber Nasional 2021, dan pembentukan Otoritas Perlindungan Hak Digital (DRPA) pada 2025—respons Pakistan tetap terfragmentasi. Tumpang tindih yurisdiksi dan rivalitas kelembagaan antara FIA dan NCCIA menciptakan kebingungan soal kewenangan investigasi, semakin melemahkan penegakan.

Bottleneck investigasi sangat parah. Dengan hanya 350 penyidik kejahatan siber menangani lebih dari 160.000 perkara aktif, setiap petugas rata‑rata menghadapi 6.000 pengaduan per tahun. Keterbatasan sumber daya akut: beberapa provinsi hanya memiliki dua pelacak digital dan lima kendaraan forensik. Peradilan pun kurang siap, minim pelatihan teknis, belum ada majelis khusus, dan belum jelasnya standar pembuktian digital. Hasilnya, sistem peradilan tidak mampu mengejar kompleksitas dan volume kejahatan siber.

 

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita ototekno lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement