Boeing Kembangkan Jet Tempur Pembunuh yang Dipiloti AI, Kode Nama: Ghost Bat

Rahman Asmardika, Jurnalis
Selasa 24 September 2024 12:21 WIB
MQ-28 Ghost Bat. (Foto: Boeing)
Share :

LONDON Boeing dikabarkan tengah berencana membangun ‘pesawat tempur pembunuh’ nirawak yang dipiloti oleh kecerdasan buatan (AI). Proyek jet tempur yang dijuluki sebagai ‘MQ-28 Ghost Bat’ ini memicu kontroversi.

Dilansir Daily Mail, Boeing mengusulkan armada ‘Ghost Bat’ berjumlah ribuan unit untuk digunakan oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutu-sekutunya. Namun, rencana Boeing tersebut menimbulkan sejumlah kekhawatiran terkait keselamatan publik, keamanan nasional, hingga ‘pemanfaatan dan dari pembayar pajak’.

"Rekam jejak Boeing tampaknya tidak menunjukkan bahwa merekalah yang terbaik untuk menerapkan hal semacam ini," kata seorang mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS, Steven Feldstein, kepada Daily Mail.

Ghost Bat dilaporkan memiliki kapasitas 53 kaki kubik di hidungnya, yang dapat membawa berbagai bom dan amunisi, termasuk senjata nuklir taktis. Saat ini ada tiga prototype Ghost Bat yang telah dibangun dan diuji terbang.

Angkatan Udara Kerajaan Australia (RAAF), salah satu pihak yang memiliki prototype ini dilaporkan telah membayar lebih dari USD500 juta (USD) untuk mendapatkan tiga MQ-28 lainnya, dan membiayai infrastruktur manufaktur dalam negeri untuk membuat lebih banyak lagi.

Sementara setidaknya satu unit Ghost Bat telah dikirim ke AS untuk pengujian dan uji coba integrasinya sendiri.

Prototipe Ghost Bat yang saat ini beroperasi di Australia dan AS memiliki panjang 11,5 meter dapat terbang lebih dari 2.300 mil (3.701 km) dan saat ini sudah mampu menggunakan 'kecerdasan buatan untuk terbang secara mandiri,' menurut lembar fakta Boeing.

 

Jet pembunuh dengan AI ini diperkirakan menelan biaya USD30 juta per drone, tetapi Pentagon masih mempertimbangkan tawaran dari pesaing Boeing untuk versi final: jangka waktu yang lebih panjang hingga 2029 dan seterusnya.

Reputasi Boeing yang mendapat pukulan keras karena berbagai skandal dalam beberapa tahun terakhir membuat banyak pihak mempertanyakan apakah raksasa dirgantara itu adalah perusahaan yang tepat untuk membangun jet tempur semacam ini.

"Hanya melihat rekam jejaknya dalam hal teknologi mutakhir yang baru muncul, yang terbaru adalah masalahnya dalam hal penerbangan antariksa, tetapi juga dengan produk lain," kata Feldstein.

"Perusahaan itu (Boeing) tidak memiliki rekam jejak yang benar-benar kuat dalam hal melakukan hal-hal inovatif."

Selama beberapa tahun terakhir, beberapa model jet penumpang komersial Boeing, pada kenyataannya, telah menghadapi ledakan sumbat pintu, kebakaran mesin di udara, dan dua kecelakaan mematikan yang menewaskan 346 orang.

Penggunaan AI pada jet tempur pembunuh ini pun memunculkan perdebatan moral karena absennya pertimbangan manusia dalam berbagai keputusan yang mungkin menyebabkan hilangnya nyawa manusia.

"Anda melangkahi batas moral dengan menyerahkan pembunuhan kepada mesin," kata Mary Wareham — direktur advokasi untuk divisi persenjataan lembaga nirlaba Human Rights Watch kepada New York Times. "Membiarkan sensor komputer, bukan manusia, untuk mengambil nyawa manusia."

 

Feldstein mencatat bahwa saat ini sudah ada tanda-tanda yang meresahkan tentang penggunaan AI dalam peperangan dalam konflik saat ini di Gaza, di mana sistem AI Israel, Lavender, telah terlibat dalam pembunuhan puluhan warga sipil tak berdosa per satu terduga pejuang musuh Hamas.

"Di mata saya, ini seperti menempatkan mobil tanpa pengemudi di jalan tanpa memiliki pemahaman yang jelas tentang tingkat kegagalannya, dan berharap semuanya berjalan dengan baik," kata Feldstein kepada Daily Mail. "Tetapi tidak memiliki data yang dapat diverifikasi untuk mengetahui apakah mesin ini aman bagi orang yang lewat."

"Hal yang sama berlaku untuk penargetan AI ini. Anda tahu, ini digunakan dalam konflik di dunia nyata, namun, pemahaman kita tentang seberapa akurat sistem ini, pemahaman kita tentang perlindungan yang ada, sangat terbatas."

Meski dia merasa AI masih akan digunakan dalam konflik di masa depan, terutama karena negara lain seperti China dan Rusia juga mengembangkannya, Feldstein berharap norma-norma internasional tentang penggunaan teknologi ini dapat dipertahankan, dengan mengambil contoh dari Perang Dingin.

"Kita telah melihat hal ini terjadi dalam hal senjata nuklir atau senjata kimia."

 

"Negara-negara telah sepakat — meskipun mereka adalah pesaing — bahwa adalah kepentingan mereka untuk menetapkan norma-norma dasar perilaku, daripada membiarkan 'Wild West' terjadi dan berpotensi mengakibatkan kerusakan besar," ujarnya. 

"Saya berharap pola perilaku yang sama terjadi sehubungan dengan senjata AI," tambahnya, "bahkan jika kita mendapati diri kita bersaing sangat keras dengan China atau Rusia atau Iran."

(Rahman Asmardika)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Ototekno lainnya