PEKAN BARU - Pemerintah daerah dinilai lamban dalam membentuk komisi informasi di daerahnya masing-masing. Hal itu disebabkan karena kekhawatiran pemerintah daerah atas implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang mulai berlaku efektif per 1 Mei 2010 lalu.
"Ada sekira empat provinsi yang enggan membentuk komisi informasi di daerahnya, kebanyakan dari mereka karena takut 'digrojog' oleh publik," kata Komisioner Sub Komisi Keuangan dan Anggaran Komisi Informasi Pusat, Usman Abdhali Watik di sela Seminar Forum Edukasi dan Simulasi 'Peningkatan SDM Humas Pemerintah di Era Keterbukaan Informasi', di Pekan Baru, Riau, Senin (24/5/2010).
Seperti diketahui Undang-Undang tersebut mewajibkan setiap badan publik harus terbuka dan membuka akses informasi publik kepada masyarakat. Dikatakan Usman, pemerintah provinsi seharusnya segera membentuk komisi informasi sebagaimana diamanatkan UU.
"Sekarang baru dua provinsi saja yang sudah terbentuk yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur, komitmen pemerintah provinsi lainnya masih kurang, padahal sepenuhnya kesiapan pelaksanaan ada di provinsi," kata Usman.
Banyak pemerintah provinsi yang mengungkapkan bahwa mereka belum memasukan komisi informasi masuk ke dalam APBD. Hal tersebut seharusnya, tidak menjadi hambatan karena buktinya Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah melakukannya.
"Tinggal komitmen pemerintah daerah saja," tandas Usman.
Lebih lanjut, Usman mengungkapkan, Komisi Informasi Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada Gubernur, sedangkan Komisi informasi pusat lebih bertanggung jawab kepada Presiden. Ia memperkirakan, untuk membentuk sebuah komisi informasi provinsi dibutuhkan dana sekira Rp200 juta hingga Rp300 juta.
"Itu hanya untuk seleksi calon hingga mendapatkan komisioner," ujarnya.
Dicontohkannya, pada tahun 2009, KIP mendapatkan anggaran Rp5 miliar per tahun dan tahun 2010 ini anggaran KIP naik menjadi 7,5 miliar.
"Kalau daerah, operasionalnya mungkin sekira Rp 1 miliar," katanya.
(Sarie )