Vaniya Agrawal juga mengirim email kepada pimpinan Microsoft, menyebut perusahaan itu sebagai "produsen senjata digital" yang terlibat dalam "pengawasan, apartheid, dan genosida."
Protes itu terjadi beberapa hari setelah sebuah laporan mengungkapkan bahwa teknologi Microsoft dan OpenAI digunakan dalam operasi penargetan militer Israel di Gaza dan Lebanon. Microsoft belum mengonfirmasi tuduhan spesifik tersebut tetapi menyatakan, "Kami menyediakan banyak jalan agar semua suara dapat didengar. Namun, ini harus dilakukan tanpa mengganggu bisnis."
Pada Februari, lima karyawan Microsoft lainnya dikeluarkan dari rapat staf dengan Satya Nadella setelah memprotes kontrak serupa. Microsoft adalah perusahaan teknologi terbaru yang menghadapi reaksi keras atas hubungannya dengan Israel.
Kelompok hak asasi manusia dan advokat buruh menyebut pemecatan terhadap Microsoft sebagai pembalasan terhadap pelapor pelanggaran. No Azure for Apartheid, kelompok advokasi yang mendukung para pekerja yang dipecat, mengatakan para karyawan tersebut memperjuangkan hak asasi manusia dan harus dipekerjakan kembali.
Kejadian serupa juga terjadi ini perusaan teknologi besar lainnya. Pada 2024, puluhan pekerja Google dipecat setelah aksi duduk menentang Project Nimbus, kesepakatan AI senilai USD1,2 miliar dengan pemerintah Israel.
(Rahman Asmardika)