Lebih lanjut, gabungan kedua perusahaan tersebut akan sangat besar, baik dari sisi sumberdaya frekuensi maupun dari sisi kesiapan jaringan optik.
"Jika XL Axiata jadi merger dengan Smartfren, dan seluruh sumberdaya kemudian dimiliki bersama, sepertinya kekuatannya akan lebih besar dari Indosat. Peluangnya terbuka dengan UU Omnibus Law, tinggal hitung-hitungan nilai aset saja sehingga porsi sahamnya masing-masing bisa ditentukan," ujar mantan Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Kominfo itu lebih lanjut.
Dalam hal ini peran pemerintah jadi sangat penting, soal hitung-hitunganan efektivitas penguasaan sumberdaya.
"Jangan sampai ada operator atau gabungan operator hasil merger menguasai sumber daya terlalu banyak dibandingkan dengan sebaran jaringannya. Hal ini harus dicegah. Lainnya yang harus diperhatikan dampak terhadap persaingan usaha apakah akan semakin menguntungkan masyarakat dan negara atau tidak," tandas Ridwan.
Sebagai catatan, Smartfren memiliki sumberdaya yang potensial, operator yang identik dengan warna merah itu memiliki keunggulan dalam hal penguasaan frekuensi dan memiliki anak usaha Moratelindo yang merupakan kompetitor utama Telkom.
XL Axiata juga tidak kalah potensial dimana mereka telah caplok link net, perusahaan yang bergerak dalam bidang penyediaan layanan melalui jaringan komunikasi broadband.
Dari sisi kepemilikan spektrum, Smartfren mengoperasikan 11 MHz untuk uplink dan 11 MHz untuk downlink di pita 800 MHz, dan 40 MHz di pita 2,3 GHz.
Sedangkan XL Axiata memiliki 45 MHz untuk uplink dan 45 MHz untuk downlink, total ada 90 MHz, dengan pita frekuensi 1,9 GHz dan 2,1 GHz digunakan untuk 5G.
(Imantoko Kurniadi)