"Singkatnya, penelitian ini menunjukkan bahwa paparan lingkungan lebih rendah saat kepadatan stasiun pangkalan rendah," kata penulis utama penelitian tersebut, peneliti epidemiologi Adriana Fernandes Veludo, sebagaimana dilansir Daily Mail.
"Namun," tambahnya, "dalam situasi seperti itu, emisi dari ponsel jauh lebih tinggi."
"Hal ini memiliki konsekuensi paradoks bahwa pengguna ponsel biasa lebih terpapar RF-EMF di area dengan kepadatan stasiun pangkalan rendah," menurut Fernandes Veludo, mahasiswa PhD yang bekerja sama dengan Project GOLIAT, sebuah investigasi 5G.
Namun, Fernandes Veludo juga mencatat bahwa temuan baru itu "mungkin meremehkan paparan sebenarnya" yang berasal dari ponsel 5G ini, saat dioperasikan di daerah pedesaan.
Sementara negara-negara Eropa menganggap tingkat tersebut sebagai 29 mW/m2 tinggi, tingkat tersebut jauh di bawah batas ambang yang lebih longgar di Amerika. Komisi Komunikasi Federal Amerika Serikat (FCC) telah menetapkan tingkat paparan maksimum yang diizinkan menjadi 10.000 mW/m2.
Peluncuran 5G telah memicu teori konspirasi bahwa bentuk baru teknologi nirkabel tersebut entah bagaimana menyebabkan Covid-19 atau bahkan mungkin merupakan bentuk baru pengendalian pikiran yang dirahasiakan dan berteknologi tinggi.
Meskipun penelitian baru dari Swiss tidak mempertimbangkan risiko kesehatan, penelitian tersebut memberikan informasi terperinci baru tentang apa yang dialami orang-orang di dunia nyata.
Kemungkinan perkiraan yang terlalu rendah ini bermula dari bagaimana Fernandes Veludo dan rekan-rekannya mengumpulkan data radiasi ponsel 5G mereka sejak awal.
Tim mengukur paparan di masing-masing dari lima kotamadya pengujian mereka dengan bepergian ke lokasi-lokasi tertentu sambil mengenakan ransel dengan perangkat portabel yang mengukur paparan RF-EMF ditambah telepon pintar yang dilengkapi dengan sensor dan perangkat lunak pelacak radiasi.