JAKARTA - Bagi jutaan orang di Pakistan, janji transformasi digital—dari perbankan seluler hingga e‑commerce—tidak membawa pemberdayaan, melainkan keterpaparan risiko. Apa yang sebelumnya dibayangkan sebagai gerbang menuju inklusi keuangan dan modernisasi ekonomi justru berubah menjadi lahan subur bagi eksploitasi, tempat kejahatan siber berkembang dan kepercayaan publik terkikis.
Penipuan finansial muncul sebagai salah satu ancaman paling meresap, dengan pelaku memanfaatkan platform perbankan daring dan skema investasi menyesatkan untuk menargetkan pengguna yang lengah. Kebocoran data Bank of Punjab pada 2023 menjadi contoh nyata: peretas menembus sistem pembayaran pihak ketiga, mengakses data sensitif lebih dari 500.000 nasabah, dan menyedot PKR 2,3 miliar (sekitar Rp 133 miliar) melalui transaksi tidak sah sebelum pelanggaran terdeteksi, menunjukkan rapuhnya infrastruktur digital Pakistan, demikian dilansir Islam Khabar, Rabu, (10/9/2025).
Terlepas dari pertumbuhan adopsi digital yang pesat dan gelombang reformasi regulasi, ekonomi digital Pakistan kini dilanda krisis yang kian dalam akibat penipuan siber, kebocoran data, dan kecurangan finansial daring. Ini bukan hasil kesalahan terisolasi, melainkan buah dari empat kegagalan sistemik yang saling terkait: penegakan regulasi yang lemah, kapasitas penegakan hukum dan penuntutan yang tidak memadai, tata kelola keamanan siber yang defisien, serta literasi digital yang rendah. Tanpa reformasi terpadu yang mendesak lintas lembaga, fondasi masa depan digital Pakistan berada dalam ancaman.
Skala masalahnya mencengangkan. Antara 2020 dan 2024, Badan Investigasi Federal (FIA) menerima lebih dari 722.000 pengaduan kejahatan siber. Namun kurang dari 10% yang diselidiki secara resmi, dan hanya 152 perkara berujung vonis—tingkat keberhasilan 2,84%. Hanya pada 2024, lebih dari 13.000 pengaduan penipuan finansial daring menghasilkan 1.212 penangkapan, tetapi hanya 17 putusan dijatuhkan. Angka‑angka ini tidak hanya mengungkap inefisiensi, tetapi juga gejala keruntuhan sistemik dalam penegakan dan efek jera.
Sektor keuangan terus menanggung dampak. Pada kuartal I 2024, Bank Sentral Pakistan (SBP) menjatuhkan denda lebih dari PKR 776 juta kepada delapan bank besar akibat kelemahan dalam AML, CDD, dan protokol mitigasi penipuan. Lembaga Ombudsman Perbankan menyelesaikan hampir 28.000 pengaduan penipuan digital pada 2024, dengan restitusi PKR 1,65 miliar. Namun pemulihan ini masih jauh dari menutup besarnya kerugian yang belum terlacak dan menurunnya kepercayaan konsumen.
Penipuan digital telah berevolusi menjadi kejahatan terorganisasi berskala industri. Pada Juli 2025, Badan Investigasi Kejahatan Siber Nasional (NCCIA) membongkar skema Ponzi besar yang beroperasi dari pusat panggilan di Faisalabad, menangkap 149 tersangka termasuk warga negara asing. Sementara itu, Otoritas Pasar Modal (SECP) menandai 141 aplikasi pinjaman ilegal yang memanfaatkan platform seperti Facebook dan WhatsApp, banyak di antaranya muncul kembali dengan nama baru setelah diturunkan regulator.
Laporan Dewan Keamanan Siber Pakistan 2024 menggambarkan situasi mengkhawatirkan: lebih dari 60% perusahaan gagal menerapkan protokol dasar seperti enkripsi dan autentikasi multifaktor. Lembaga internasional mencatat hal ini. Bank Dunia dan IMF kini mengklasifikasikan penipuan digital sebagai risiko ekonomi utama, memperingatkan bahwa lemahnya penegakan dan rendahnya kepercayaan publik menghambat inklusi keuangan, menahan investasi, dan menekan pertumbuhan PDB.
Walau ada upaya legislasi—termasuk PECA 2016, Kebijakan Keamanan Siber Nasional 2021, dan pembentukan Otoritas Perlindungan Hak Digital (DRPA) pada 2025—respons Pakistan tetap terfragmentasi. Tumpang tindih yurisdiksi dan rivalitas kelembagaan antara FIA dan NCCIA menciptakan kebingungan soal kewenangan investigasi, semakin melemahkan penegakan.
Bottleneck investigasi sangat parah. Dengan hanya 350 penyidik kejahatan siber menangani lebih dari 160.000 perkara aktif, setiap petugas rata‑rata menghadapi 6.000 pengaduan per tahun. Keterbatasan sumber daya akut: beberapa provinsi hanya memiliki dua pelacak digital dan lima kendaraan forensik. Peradilan pun kurang siap, minim pelatihan teknis, belum ada majelis khusus, dan belum jelasnya standar pembuktian digital. Hasilnya, sistem peradilan tidak mampu mengejar kompleksitas dan volume kejahatan siber.
Infrastruktur digital Pakistan sama rentannya. Laporan Keamanan Siber PTA 2024–25 mencatat kenaikan 17% serangan terhadap sistem kritis, dengan insiden phishing melonjak 173% secara global dan tercermin di dalam negeri. Meski CTDISR‑2025 memperkenalkan protokol keamanan yang patut diapresiasi, kepatuhannya tidak merata dan banyak terbatas pada operator telekom besar. CERT sektoral untuk perbankan dan pemerintah masih tahap awal, dan respons insiden kekurangan sumber daya.
Kesenjangan digital memperparah krisis. Hanya 33% populasi memiliki akses internet andal, sementara minimnya investasi serat optik terus mengisolasi wilayah pedesaan dan kelompok berpendapatan rendah. Kelompok ini, dengan literasi digital terbatas, terdorong ke transaksi daring informal dan tidak aman—lahan subur bagi penipuan. Sektor publik yang bergantung pada perangkat keras impor dan layanan komputasi awan pihak ketiga menambah kerentanan.
Penipuan daring melalui aplikasi pinjaman mikro telah meluas, terutama menimpa pengguna media sosial yang mencari dana cepat. Lemahnya implementasi hukum siber membuat mereka terekspos skema predator dan pencurian identitas. Menurut Direktorat Kejahatan Siber FIA, kebocoran data korporasi naik 30% pada 2024 dibanding 2022, dengan pelaku mengeksploitasi sistem keamanan usang di institusi publik maupun swasta.
Studi Visa “Value of Acceptance” 2025 menemukan bahwa meski 78% pelaku usaha kecil menganggap pembayaran digital esensial, hanya 20% yang merasa siap mengelola penipuan. Serangan rekayasa sosial, skema investasi palsu, dan penipuan identitas sintetis mengeksploitasi celah ini dengan efektif.
Perempuan kian rentan terhadap perundungan siber dan eksploitasi finansial. Dalam lima tahun terakhir, sekitar 1,8 juta perempuan di Pakistan menjadi korban kejahatan siber, menurut data resmi yang dilaporkan Hum English News. Dari 2,7 juta pengaduan kejahatan digital yang diajukan secara nasional pada periode tersebut, 80% diajukan oleh perempuan dan anak‑anak.
Kriminal siber di Pakistan memadukan taktik digital dengan sistem keuangan informal untuk mencuci uang secara daring, sehingga asal‑usul dana ilegal tersamarkan. Selain jaringan hawala dan hundi yang menjadi tulang punggung, pelaku kian beralih ke aset kripto, mengonversi hasil curian ke Bitcoin atau USDT melalui bursa tidak teregulasi, lalu menyebarkannya ke banyak dompet dan layanan mixing untuk menghapus jejak.
Metode lain melibatkan situs e‑commerce dan donasi palsu sebagai kedok transaksi sah atau sumbangan, yang sering lenyap setelah dana “dibersihkan”. Aplikasi pembayaran seluler seperti JazzCash dan Easypaisa turut dieksploitasi, dengan pembukaan banyak akun memakai identitas dan SIM curian, serta pengaturan transaksi agar tetap di bawah ambang pelaporan.
Selain itu, judi daring ilegal dan aplikasi trading tidak teregulasi dipakai untuk memutar dana lewat taruhan atau transaksi fiktif, lalu ditarik sebagai “kemenangan”. Bersama‑sama, metode ini membentuk jejaring penipuan finansial kompleks yang menantang otoritas dan merusak kepercayaan digital.
Keterlibatan pelaku Pakistan di pusat kejahatan siber Asia Tenggara—terutama Kamboja, Laos, dan Myanmar—kian menonjol dalam jaringan kriminal lintas negara. Mereka teridentifikasi pada sejumlah peran inti dalam operasi penipuan. Banyak yang direkrut ke “kompleks penipuan” dengan janji pekerjaan sah, lalu dipaksa melakukan penipuan daring, menyamar sebagai pejabat, dan menyasar korban di seluruh dunia. Yang lain menjadi spesialis teknis, menyiapkan situs phishing, caller ID palsu, dan sistem malware yang memfasilitasi kecurangan finansial. Sejumlah warga Pakistan juga berperan dalam pencucian uang melalui jalur perbankan bawah tanah seperti hawala, sering berkoordinasi dengan sindikat Tiongkok dan Asia Tenggara. Selain itu, ada yang bertindak sebagai perekrut dan perantara, memikat korban dengan tawaran kerja palsu di Dubai atau Singapura untuk kemudian memperdagangkan mereka ke pusat penipuan di Kamboja dan Laos.
Pejabat Pakistan menepis lonjakan penipuan sebagai “rasa sakit transisional”, konsekuensi alami dari inklusi digital yang cepat. Meskipun perluasan akses membawa risiko baru, narasi ini berbahaya karena mengecilkan dampak manusia dan ekonomi. Data pembanding dari negara dengan lintasan fintech serupa seperti Bangladesh, Sri Lanka, dan Kenya menunjukkan bahwa dengan kesiapan institusional, kejelasan hukum, dan edukasi publik, pertumbuhan digital tidak harus mengorbankan keamanan. Skala penipuan daring di Pakistan bukan sekadar ancaman bagi konsumen, melainkan tantangan sistemik yang mengancam masa depan keuangan nasional.
(Rahman Asmardika)