JAKARTA - Peneliti mengungkap hancurnya patung firaun wanita sakti, Hatshepsut. Penemuan ini sedikit menyingkap fenomena di balik hancurnya patung Hatshepsut.
Selama 100 tahun terakhir, para ahli Mesir Kuno mengira setelah Hatshepsut meninggal, keponakan sekaligus penerusnya membalas dendam terhadapnya. Penerusnya sengaja menghancurkan semua patungnya untuk menghapus namanya dari ingatan publik.
Studi baru menemukan hal itu tidak sepenuhnya benar. Meskipun banyak patung Hatshepsut sengaja dihancurkan, alasan di balik penghancurannya tidak ada hubungannya dengan jenis kelaminnya atau bahkan untuk menghapus keberadaannya, kata seorang ahli Mesir Kuno.
Sebaliknya, patung-patung Hatshepsut dihancurkan untuk "menonaktifkan" dan menghilangkan kekuatan supernatural yang diduga dimilikinya. Hal ini menurut studi yang diterbitkan di jurnal Antiquity, melansir Live Science, Sabtu (19/7/2025).
Hatshepsut memerintah sekitar tahun 1473 hingga 1458 SM. Ia seorang firaun yang dikenal karena memerintahkan pembangunan kuil indah di Deir el-Bahri, dekat Thebes kuno (sekarang Luxor). Ia juga dikenal karena memerintahkan pelayaran yang sukses dari Mesir ke negeri yang dikenal sebagai "Punt", yang lokasi persisnya kini masih diperdebatkan.
Ia adalah istri dan saudara tiri Firaun Thutmose II (memerintah sekitar tahun 1492 hingga 1479 SM). Ia seharusnya bertindak sebagai wali bagi anak tirinya, Thutmose III. Namun, alih-alih menjabat sebagai wali, ia menjadi firaun dengan haknya sendiri. Sementara Thutmose III bertindak sebagai rekan wali yang memiliki kekuasaan terbatas.
Setelah Hatshepsut wafat, banyak patungnya sengaja dirusak. Itu termasuk patung di situs Deir el-Bahri, tempat para arkeolog pada tahun 1920-an dan 1930-an menemukan sisa-sisa patungnya yang hancur terkubur di dalam lubang.
Diyakini patung-patung ini dihancurkan atas perintah Thutmose III setelah Hatshepsut meninggal, sebagai bentuk pembalasan. Namun, studi baru ini menunjukkan patung-patung ini sebenarnya "dinonaktifkan secara ritual" dengan cara yang sama seperti patung-patung milik firaun lainnya.
Dalam studi tersebut, Jun Yi Wong, kandidat doktor Egiptologi di Universitas Toronto, memeriksa catatan arsip patung-patung dari Deir el-Bahri yang ditemukan pada 1920-an dan 1930-an. Wong menemukan patung-patung tersebut tidak dihancurkan di wajah dan prasastinya tidak dihancurkan.
Sebaliknya, patung-patung tersebut dipatahkan di leher, pinggang, dan kaki. Ini merupakan sesuatu yang terlihat pada patung-patung firaun Mesir lainnya selama proses yang oleh para ahli Egiptologi modern disebut "penonaktifan ritual".
Bangsa Mesir kuno memandang patung-patung kerajaan "sebagai entitas yang kuat dan bahkan mungkin hidup," ujar Wong.
Ketika seorang firaun wafat, orang Mesir kuno biasanya menonaktifkan patung-patung mereka dengan mematahkannya di titik-titik lemah, yaitu di leher, pinggang, dan kaki, catat Wong.
"Deposit patung-patung yang dinonaktifkan telah ditemukan di berbagai situs di Mesir dan Sudan," kata Wong.
"Salah satu penemuan paling terkenal dalam sejarah arkeologi Mesir adalah Karnak Cachette, tempat ratusan patung firaun—dari berbagai abad—ditemukan dalam satu deposit. Sebagian besar patung telah 'dinonaktifkan'."
Ini bukan berarti Hatshepsut tidak menjadi sasaran penganiayaan politik setelah kematiannya.
"Tidak diragukan lagi Hatshepsut memang mengalami kampanye penganiayaan—di banyak monumen di seluruh Mesir, gambar dan namanya telah dihapus secara sistematis," kata Wong.
"Kita tahu bahwa kampanye penganiayaan ini diprakarsai oleh Thutmose III, tetapi kita tidak yakin mengapa."
(Erha Aprili Ramadhoni)