JAKARTA – NFT (Non-Fungible Token) sempat menghebohkan dunia saat masa pandemi Covid-19 tahun 2021 hingga 2022 lalu. NFT ini merupakan aset digital suatu barang berharga dengan nilai yang tidak dapat ditukarkan. Sayangnya kepopularitasan NFT tampaknya akan segera berakhir. Banyak orang kehilangan kekayaan karena berinvestasi di NFT.
Pada tahun 2014, Kevin McCoy menciptakan Quantum, token non-fungible (NFT) pertama, yang mengawali era NFT. Namun, NFT baru dikenal publik pada tahun 2017 dan naik daun di tahun 2021. Di masa kejayaannya, banyak koleksi NFT asli mulai bermunculan di blockchain Ethereum.
Kala itu, penjualan karya seni NFT mencapai puncaknya hampir 15 juta dolar AS per bulan atau setara dengan Rp240 miliar, dengan NFT termahal mencapai harga 91.8 juta dolar AS yang setara dengan Rp1,4 triliun. Mengikuti tren yang memuncak pada saat itu, orang-orang mulai berinvestasi di NFT apa pun yang dapat mereka temukan.
Ada dua alasan yang membuat orang melakukan pembelian NFT. Bagi mereka dengan alasan bisnis akan berinvestasi untuk menjual kembali NFT yang dimiliki untuk mendapatkan keuntungan.
Sedangkan ada pula mereka yang membeli NFT hanya sekedar untuk kesenangan belaka. Mereka tidak peduli dengan turunnya nilai jual pada NFT tersebut, melainkan agar mereka memiliki hak atas kepemilikan barang asli.
Dilansir dari dappGambl, Selasa (3/10/2023), sebanyak 69.795 dari 73.257 koleksi NFT yang ditemukan memiliki kapitalisasi pasal nol Ether. Angka ini menunjukkan 95% koleksi NFT tak bernilai yang mewakili lebih dari 23 juta investor di dunia merugi. Kisah-kisah penjualan karya seni digital yang membuat sukses dalam semalam ini pun tidak berharga karena fakta bahwa pasar penuh dengan jebakan dan potensi kerugian.