Parahnya lagi parasut yang dia bawa hanya bisa mengembang jika ketinggian mencapai 3.000 meter. Jadi bayangkan selama itu dia harus benar-benar terjun bebas.
"Dia mengalami tekanan yang sangat besar. Kepala dan hidungnya seperti benar-benar mau meledak dan terus mengeluarkan darah. Di saat yang bersamaan cuaca dingin justru membuatnya seperti terbakar," terang IFL Science mengutip buku The Man Who Rode the Thunder milik William Rankin.
Selama penderitaan itu juga dia benar-benar melewati banyak awan. Termasuk awan badai yang dia coba hindari. Di awan badai itu dia benar-benar tidak melihat apapun karena terlalu gelap. Suara guntur dan dentuman kilat membuatnya hanya bisa berdoa. Untungnya dia cukup cepat melewati awan badai tersebut. Namun penderitaannya belum selesai setelah itu.
Dia kemudian melihat awan cumulonimbus yang sangat besar menyambut dirinya. Dia tahu kalau awan tersebut benar-benar berbahaya dan perlu dihindari karena ketidakstabilan yang tinggi. Parahnya tiba-tiba saja parasutnya mengembang. Saat itulah penderitaannya dimulai. Parasut itu justru membuat dia terombang-ambing oleh awan cumulonimbus.
Parasut itu bahkan seolah membuatnya terhisap lagi ke atas langit. William Rankin tidak benar-benar turun ke bumi selama di awan tersebut. Selama 40 menit dia terus-terusan disiksa oleh hantaman angin, hujan deras, dan sambaran kilat yang terjadi di awan cumulonimbus. Beruntung tiba-tiba saja hantaman angin membuatnya keluar dari jebakan awan cumulonimbus.
Pengalaman luar biasa itu yang kemudian membuat William Rankin coba merekamnya lewat buku berjudul The Man Who Rode the Thunder. Saat pesawat berusaha menghindar dari awan cumulonimbus, William Rankin justru tinggal selama 40 menit di awan berbahaya tersebut.
(Martin Bagya Kertiyasa)