Sayangnya, lanjut Damar ia menemukan fakta bahwa di dalam RUU KKS yang didistribusikan dua bulan lalu, menjadi ancaman serius bagi kebebasan berbicara warga negara dan akan menciptakan lembaga superbody yang akan berada di atas lembaga penegakan hukum.
"Hukum akan mempersenjatai negara dalam perang melawan ancaman siber. Regulasi ini akan menunjuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai badan pelaksana untuk berkoordinasi dengan angkatan bersenjata, polisi, kantor jaksa agung, badan intelijen dan kementerian serta lembaga pemerintah lainnya," kata Damar.
Menurutnya, tidak ada keterlibatan multi-pemangku kepentingan dalam proses penyusunan RUU keamanan siber ini, tidak ada diskusi dengan lembaga pemerintah lainnya, tidak ada dialog dengan sektor swasta terkait dengan keamanan siber atau e-commerce, bahkan tidak meminta masukan dari masyarakat sipil.
Melihat kekhawatiran ini, Damar melanjutkan bahwa pihak SAFEnet meminta legislatif Indonesia untuk membatalkan pengesahan rencana undang-undang keamanan siber yang otoriter itu dan legislatif akhirnya menarik RUU KKS tersebut pada September lalu.
"Tapi itu masih jauh dari selesai. Saya percaya keamanan siber adalah masalah kepercayaan. Untuk mencapai kepercayaan, kuncinya adalah melakukan dialog di tingkat nasional dan juga di tingkat regional untuk mencapai hasil terbaik," tutur Damar.
Ia mengatakan, perusahaan sektor swasta harus bergabung dalam pembahasan ini. Teknologi siber juga harus berpartisipasi. "Perlu banyak tangan untuk menangani masalah rumit seperti keamanan siber," ungkap Damar.
Baca Juga: Google Akuisisi Typhoon Studios, Perkuat Layanan Stadia
(Ahmad Luthfi)