JAKARTA – Lebih dari 240 juta orang terhubung ke internet pada tahun 2025, menjadikan jumlah total pengguna internet dunia mencapai enam miliar, menurut laporan baru yang dirilis pada Senin (17/11/2025) oleh Persatuan Telekomunikasi Internasional (International Telecommunication Union/ITU).
Dalam sebuah pernyataan, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tersebut mengungkapkan bahwa meskipun data menunjukkan kemajuan yang stabil dalam memperluas konektivitas global, masih ada kesenjangan yang terus-menerus dalam hal kualitas, keterjangkauan, dan keterampilan, yang menghalangi miliaran orang untuk sepenuhnya memanfaatkan teknologi digital.
ITU juga memperkirakan bahwa 2,2 miliar orang masih belum terhubung ke internet, sebagian besar berada di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Laporan tersebut menekankan perlunya infrastruktur digital yang lebih kuat, layanan yang terjangkau, dan peningkatan keterampilan digital seiring dengan semakin melekatnya teknologi seperti kecerdasan buatan dalam kehidupan sehari-hari.
“Di dunia di mana teknologi digital sangat penting bagi sebagian besar kehidupan sehari-hari, setiap orang seharusnya memiliki kesempatan untuk mendapatkan manfaat dari akses internet,” ujar Sekretaris Jenderal ITU, Doreen Bogdan-Martin, sebagaimana dilansir Anadolu Agency. Ia mencatat bahwa kesenjangan digital saat ini semakin didefinisikan tidak hanya oleh akses, tetapi juga oleh kecepatan, keandalan, keterjangkauan, dan keterampilan.
Laporan tersebut menyoroti kesenjangan kualitas yang semakin lebar akibat ekspansi teknologi seluler canggih yang tidak merata. Untuk pertama kalinya, ITU memperkirakan jumlah total langganan 5G, yang kini berjumlah sekitar tiga miliar—kira-kira sepertiga dari seluruh langganan broadband seluler.
Meskipun jaringan 5G diperkirakan akan menjangkau 55% populasi global, aksesnya masih belum merata. Di negara-negara berpenghasilan tinggi, jangkauannya mencapai 84% populasi, sementara di negara-negara berpenghasilan rendah hanya 4%.
Pola penggunaan menggambarkan kesenjangan yang sama, menurut laporan tersebut, dengan pengguna rata-rata di negara berpenghasilan tinggi menghasilkan hampir delapan kali lebih banyak data seluler dibandingkan pengguna di negara berpenghasilan rendah.
Keterjangkauan dan keterampilan digital juga tetap menjadi hambatan signifikan, demikian temuan laporan tersebut. Meskipun harga median paket broadband seluler khusus data telah menurun, ITU mencatat bahwa akses masih belum terjangkau di sekitar 60% negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sebagian besar pengguna internet hanya memiliki keterampilan dasar, sementara kemampuan yang lebih canggih—termasuk keamanan daring, pemecahan masalah, dan pembuatan konten digital—berkembang lebih lambat, tambah laporan itu.
Cosmas Luckyson Zavazava, Direktur Biro Pengembangan Telekomunikasi ITU, mengatakan data yang andal sangat penting bagi kebijakan digital yang efektif dan untuk mencapai visi bersama tentang konektivitas universal. Ia menekankan bahwa upaya berkelanjutan dan terarah dalam infrastruktur, keterampilan, dan sistem data diperlukan untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa perkembangan digital masih berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi, gender, dan lokasi. Penggunaan internet mencapai 94% di negara-negara berpenghasilan tinggi, tetapi hanya 23% di negara-negara berpenghasilan rendah.
Pria tetap lebih terhubung daripada wanita, dengan 77% pria online dibandingkan 71% wanita. Populasi perkotaan memiliki tingkat konektivitas jauh lebih tinggi, yaitu 85%, sementara hanya 58% penduduk pedesaan yang online, menurut laporan itu.
Kaum muda juga jauh lebih terhubung, dengan 82% dari mereka yang berusia 15 hingga 24 tahun menggunakan internet, dibandingkan 72% populasi lainnya.
(Rahman Asmardika)