Dengan mengamati secara saksama tulang burung pipit tertentu yang ditemukan di lubang pembuangan, Valenzuela menemukan sebuah pola. Meskipun terdapat banyak tengkorak dan tulang dada (sterna) dari burung-burung kecil, hampir tidak ada tulang lengan dan kaki atau tulang dada bagian atas. Ini merujuk bagian burung dengan berisi daging paling banyak.
"Tidak adanya bagian daging dari bangkai burung menunjukkan burung pipit dikonsumsi secara luas, menjadi bagian dari makanan sehari-hari dan ekonomi makanan perkotaan di Pollentia," tulis Valenzuela dalam penelitian tersebut.
Catatan sejarah menunjukkan, pemburu hewan buruan Romawi sering menangkap burung dalam kelompok besar menggunakan jaring atau perangkap lubang. Pemburu lalu menjualnya ke tempat-tempat eceran yang memasak dan mendistribusikannya sebagai makanan.
Berdasarkan bukti tulang, Valenzuela berpendapat, burung-burung tersebut disiapkan dengan membuang tulang dada. Teknik ini memungkinkan penjual makanan memasak burung dengan cepat, baik di atas panggangan atau digoreng dalam minyak sambil mempertahankan kelembapannya.
Keramik pecah yang ditemukan di lubang pembuangan dapat menunjukkan burung anis disajikan di piring seperti halnya di tempat makan di rumah.
"Namun, mengingat ukurannya yang kecil dan konteks makanan kaki lima, sangat mungkin burung tersebut disajikan ditusuk sate atau tongkat agar lebih mudah dipegang. Kedua pilihan itu memungkinkan," kata Valenzuela.
Selain tulang burung anis, Valenzuela menemukan orang Romawi memakan ayam kampung (Gallus gallus) dan kelinci Eropa (Oryctolagus cuniculus) dalam jumlah besar. Ini menunjukkan burung tersebut juga ada dalam menu di tempat makan cepat saji kuno ini.
(Erha Aprili Ramadhoni)