Dia juga menekankan bahwa Xiaomi termasuk perusahaan yang baru terjun ke dalam industri EV, sehingga pihaknya perlu memastikan kestabilan produknya. Ini terutama karena ada perbedaan kondisi di berbagai negara, termasuk Indonesia, dengan China.
“Kami baru mulai di China, kami harus memastikan mobilnya aman dan semuanya sangat stabil. karena beda negara beda kondisinya. Beberapa negara sangat dingin seperti Jepang, beberapa negara sangat panas seperti Indonesia. Cara mengemudinya juga berbeda-beda, jadi kami membutuhkan waktu untuk mempersiapkan segalanya,” terangnya.
Selain faktor-faktor tersebut, Wentao menegaskan bahwa Xiaomi ingin serius masuk ke pasar mobil listrik Indonesia, sehingga perlu mempersiapkan banyak hal terkait ifrastruktur produksi dan penjualan.
“Saat kami memasuki negara ini (Indonesia) kami ingin serius. Kami ingin mempersiapkan pabrik lokal, tim sales, saluran penjualan, marketing, aftersales. Tapi saya percaya Indonesia adalah pasar yang besar,” kata Wentao.
Tahun lalu, CEO Xiaomi, Lei Jun mengatakan bahwa pihaknya belum memiliki rencana menjual kendaraan listriknya di luar China dalam waktu dekat untuk mendapat keuntungan. Ia lebih memilih fokus pada pasar domestik untuk tiga tahun ke depan sebelum memasuki pasar global.
Saat ini Xiaomi tengah mengembangkan model kedua mobil listriknya, SUV dengan nama YU7, yang sejauh ini spesifikasi SUV tersebut masih dirahasiakan. Perusahaan yang berpusat di Beijing itu menargetkan penjualan 300 ribu unit mobil listriknya untuk tahun 2025.
(Rahman Asmardika)