Para peneliti berpikir sebagian informasi itu bisa berasal dari struktur wajah para kandidat. Misalnya, ukuran dan bentuk rahang seseorang bisa menjadi indikator dominasi sosial, yang menyebabkan monyet-monyet itu menatap kandidat dengan garis rahang yang lebih lemah.
Tim menemukan bahwa rata-rata, kandidat yang menang memiliki rahang yang 'menonjol' 2 persen lebih banyak, berdasarkan proporsi rahang terhadap pipi.
Namun, peramal pemilu terkemuka bersikap skeptis terhadap metode prediksi monyet ini.
“Berapa banyak pemilu mendatang, di mana hasilnya tidak diketahui - dibandingkan dengan pemilu-pemilu sebelumnya di mana hasilnya sudah diketahui - yang telah diprediksi oleh metode tersebut?” kata Allen Lichtman, seorang sejarawan yang telah secara akurat memprediksi hasil dari hampir setiap pemilihan presiden selama 40 tahun terakhir, bertanya kepada Science.
“Jika jawabannya tidak ada, saya sudah selesai. Saya tidak tertarik lagi,” tambahnya.
Gary King, seorang ilmuwan politik yang menganalisis hasil pemilu kongres selama 28 tahun untuk membuat model peramalannya sendiri, mengatakan kepada Science bahwa hubungan yang ditemukan oleh penelitian itu 'cukup menarik.'
Namun, ia meragukan bahwa metode monyet ini akan lebih efektif daripada metode peramalan pemilu yang ada, yang menganalisis pendapatan pemilih, ideologi, pola pemungutan suara sebelumnya, dan faktor-faktor penting lainnya.
(Rahman Asmardika)