JAKARTA – Bisnis satelit merupakan salah satu bidang yang jarang mendapat perhatian dan dibicarakan publik di Indonesia. Padahal satelit merupakan salah satu tulang punggung komunikasi Tanah Air, terutama bagi daerah terpencil yang sulit dijangkau.
Luasnya wilayah Indonesia membuat bisnis satelit memiliki potensi yang sangat besar, karena cakupan wilayah kepulauan yang harus terkoneksi komunikasi.
Saat ini, Indonesia menggunakan satelit Geostationery Orbit (GEO) dan Low Earth Orbit (LEO), yang melayani dari ketinggian yang berbeda. GEO yang berada di orbit yang lebih tinggi menawarkan kestabilan posisi yang unggul dengan kapasitas transponder yang besar yang ideal untuk melayani wilayah geografi Indonesia yang luas, sementara LEO menawarkan latensi rendah dengan kecepatan tinggi, namun kapasitas transpondernya terbatas.
Satelit-satelit LEO telah “booming” di Indonesia dalam 4 hingga 5 tahun terakhir, terutama untuk memenuhi kebutuhan broadband yang juga semakin tinggi. Namun, satelit LEO memiliki umur yang pendek, hanya sekira 5 tahun, serta butuh banyak satelit untuk mencakup banyak lokasi.
Berbicara di acara Diskusi IndoTelko Forum bertema "Menatap Masa Depan Bisnis Satelit GEO" di Jakarta, Ketua Bidang Infrastruktur Nasional MASTEL Sigit Puspito Wigati Jarot menyoroti soal kebutuhan infrastruktur satelit terutama untuk kebutuhan telekomunikasi.
Mengutip data Bryce Tech, sepanjang 2022 ekonomi angkasa global mencapai USD384 miliar, yang mana sebanyak USD281 miliar atau 73 persennya merupakan industri satelit. Angka ini terbagi atas industri layanan satelit sebesar USD113 miliar, ground equipment USD145 miliar, manufaktur satelit USD15,8 miliar, dan peluncuran USD7 miliar.
Sepanjang 2022, investasi publik di angkasa, baik untuk kepentingan sipil maupun militer mencapai 99 miliar Euro menurut Euroconsult, yang mana 60 persennya dari Amerika Serikat (AS), disusul Eropa 14 persen, China 11 persen, Jepang 5 persen, Rusia 3 persen, India 2 persen dan sisa negara lain 5 persen.
"Hingga 2030 diperkirakan akan ada 60.000-100.000 satelit dibandingkan 11.000 peluncuran satelit dalam 60 tahun. Sementara, pertumbuhan sektor angkasa diperkirakan mencapai 11 persen secara tahunan hingga 2030," ujar Sigit pada Selasa, (30/1/2024).
Tantangan menjalankan bisnis satelit HTS
Kepala Divisi Infrastruktur Satelit Bakti Kominfo Sri Sanggrama Aradea membeberkan saat ini di Bakti Kominfo, satelit masuk dalam lapis jaringan infrastruktur telekomunikasi nasional.
Indonesia saat ini memiliki satelit multifungsi satria 1 yang merupakan High-Throughput Satellite (HTS) berkapasitas 150 Gbps. Satria 1 diluncurkan pada akhir Juni 2023 dan menggunakan skema KPBU. Sementara commercial operation date-nya pada 2 Januari 2024.
Sementara satelit Satria 2 akan dibangun dalam bentuk twin satellite yakni Satria 2A dan 2B, yang akan memberikan kapasitas 300 Gbps agar layanan internet yang tersedia semakin andal dan cepat.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menyebutkan, Indonesia memiliki satelit terbanyak di Asia Tenggara dengan 18 satelit hingga Juni 2023. Disusul Singapura 15 satelit.
Sementara regulasi mengenai satelit di Indonesia termaktub dalam UU Telekomunikasi No.36/1999, serta UU No. 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2/2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang.
Menurut Heru, saat ini Indonesia baru memiliki beberapa satelit operasional untuk melayani kebutuhan telekomunikasi dan penyiaran, sehingga hal ini menjadi tantangan agar perkembangan satelit Indonesia tak kalah dari satelit asing.
Satelit asing digunakan di Indonesia untuk mendukung penyediaan layanan satelit yang belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh kapasitas satelit nasional.
"Penggunaan Satelit Asing di Indonesia wajib memiliki Hak Labuh Satelit dan wajib memenuhi sejumlah ketentuan tertentu," katanya. Tentunya ini jadi tantangan dari sisi regulasi agar satelit asing tak memiliki "pangsa pasar" besar pada slot orbit RI.
Heru menyampaikan, teknologi satelit masih dibutuhkan Indonesia untuk mengisi ”sinyal” internet broadband yang tidak terjangkau dan belum terlayani teknologi seluler dan kabel serat optik, serta menjadi backup.
Untuk itu, alokasi slot orbit satelit harus dilakukan secara berhat-hati dan diberikan pada penyelenggara yang memiliki kemampuan finansial cukup dan memaksimalkan penggunaan slot orbit satelit ke depannya.
Tantangan regulasi lain adalab bagaimana menciptakan pasar yang sehat di bisnis satelit. "Bisnis satelit harus dilakukan dalam iklim persaingan usaha yang sehat," pungkasnya.
(Rahman Asmardika)