“Saat pelaku ini sudah mendapatkan konten yang mereka inginkan, sarana media sosial memang biasanya dijadikan ancaman kepada korban, dengan berbagai tujuan. Ada yang bermotif ekonomi, motif lain seperti meminta dilayani hasrat seksualnya, dengan ancaman bila ditolak maka akan tersebar di media sosial," ungkapnya.
"Ini jelas sudah melanggar UU ITE pasal 27 ayat 1 dan 4, dimana pelaku tidak hanya mendistribusikan konten asusila disertai dengan ancaman kepada korban,” terang pria yang juga aktif sebagai advokat ini.
Bagi korban, sekali konten revenge porn ini naik ke media sosial, akan sulit untuk benar-benar hilang dari dunia maya, karena persebaran konten tersebut sudah diluar kontrol semua pihak. Yang bisa dilakukan adalah negara lewat kominfo hadir menertibkan berbagai akun medsos terutama di twitter yang menyebarkan konten revenge porn dengan massif.
“Bila kita lihat di Twitter, konten revenge porn begitu banyak, bahkan dimanfaatkan oleh banyak pihak dengan membuka langganan berbayar lewat telegram. Dari sini aparat bisa menelusuri juga para pelaku revenge porn. karena biasanya akun di Twitter ini mendapatkan konten setelah menerima DM atau pesan inboks dari pelaku," jelas dia.
"Parahnya lagi, para korban yang ingin dihapus kontennya dari sebuah akun bukan tidak mungkin akan dimintai sejumlah uang, padahal kontennya masih akan tetap ada oleh akun lainnya,” terangnya.
(Martin Bagya Kertiyasa)