PENGGUNAAN air tanah di seluruh dunia yang masif membuat kekhawatiran akan habisnya stok air di dunia. Jakarta sendiri, sudah membatasi penggunaan air tanah pada 2021 dan akan berlaku pada Agustus 2023.
Selain kekhawtiran akan stok air bersih, ternyata penggunaan air tanah berlebihan membuat dampak lain ke bumi kita loh. Pasalnya, dengan penggunaan air tanah dalam dua dekade membuat poros Bumi bergeser.
Sebuah penelitian menyebut, kutub rotasi Bumi, titik di mana planet berputar, bergeser dengan perubahan distribusi massa di seluruh dunia, bergoyang dalam proses yang disebut gerakan kutub. Para ilmuwan menyebut, perubahan distribusi air akibat perubahan iklim dapat berkontribusi pada gerakan kutub.
Para peneliti menyebut air yang sudah keluar dari dalam tanah sekira 2.150 gigaton air, atau setara dengan Danau Victoria di Afrika, dari lapisan bawah tanah batuan jenuh air yang dikenal sebagai akuifer. Akibatnya, terjadi pergeseran yang cukup signifikan ke arah timur sebesar 31 inci (80 sentimeter) di kutub rotasi Bumi antara tahun 1993 dan 2010.
Itu karena air tanah yang digunakan untuk irigasi dan aktivitas manusia lainnya akhirnya berakhir di lautan, dan didistribusikan kembali dari tempat air itu dibawa ke bagian lain dunia.
"Kutub rotasi bumi sebenarnya banyak berubah. Studi kami menunjukkan bahwa di antara penyebab terkait iklim, redistribusi air tanah sebenarnya memiliki dampak terbesar pada rotasi kutub," kata pemimpin penelitian Ki-Weon Seo, seorang ahli geofisika di Universitas Nasional Seoul di Korea Selatan, seperti dilansir dari LiveScience.
Terlebih lagi, ekstraksi air tanah yang berakhir di lautan mungkin telah mendorong kenaikan permukaan laut global sekitar 0,25 inci (6,24 milimeter). “Penipisan air tanah merupakan kontributor signifikan terhadap kenaikan permukaan air laut,” tulis para peneliti dalam jurnal Geophysical Research Letters.
Secara global, sekira 70% air yang dipompa dari tanah digunakan untuk irigasi, tetapi hanya setengahnya yang mengalir kembali untuk mengisi akuifer dan sumber air tawar lainnya. Separuh lainnya menguap dan berakhir di lautan melalui curah hujan.
Nah, guna menentukan berapa banyak penipisan air tanah dan kenaikan permukaan laut yang dihasilkan berkontribusi pada penyimpangan kutub, ahli geofisika membangun model yang memperhitungkan pergeseran massa air yang terkait dengan lapisan es yang menipis, pencairan gletser, dan penyimpanan air di reservoir.
Ketika mereka mengecualikan redistribusi air tanah dari model, hasilnya tidak cocok dengan pergeseran kutub yang diamati ke arah timur dan sebaliknya, kemiringan jauh lebih ke arah barat.
Tapi, ketika mereka menambahkan 2.150 gigaton air dari akuifer ke dalam model, hasilnya sesuai dengan catatan pengamatan, yakni Bumi bergerak ke arah timur. "Ini adalah kontribusi yang bagus dan tentunya dokumentasi penting," kata Surendra Adhikari, seorang ilmuwan riset di Jet Propulsion Laboratory NASA dan salah satu penulis studi tahun 2016 di jurnal Science Advances yang meneliti dampak redistribusi air pada pergeseran kutub.
"Mereka menghitung peran pemompaan air tanah pada gerakan kutub, dan itu cukup signifikan," jelas Adhikari.
Perubahan yang tidak dapat diabaikan lainnya dalam distribusi air dan massa, yakni peran dalam gerakan kutub antara 1993 dan 2010 termasuk pergeseran tingkat danau alami, konveksi mantel, dan gempa bumi. Namun, ini sulit untuk diukur lantaran tidak ada database global saat ini.
Pergeseran kutub yang tercatat dalam beberapa dekade terakhir, mungkin tidak mempengaruhi lamanya hari atau musim, tapi ini menggambarkan seberapa banyak air yang telah dipompa manusia dari tanah. "Saya khawatir dan terkejut," kata Seo dalam pernyataannya.
(Martin Bagya Kertiyasa)