JAKARTA – Informasi sesat atau hoaks merupakan masalah serius di era digital saat ini. Bahkan, isu ini masuk ke dalam lima risiko global versi World Economic Forum (WEF), demikian diungkap Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi), Nezar Patria.
Menurut Nezar, misinformasi dan disinformasi tumbuh subur di media sosial, dan konten hoaks memberi sejumlah ancaman terhadap kohesi sosial yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Saya kira bukan cuma Indonesia saja yang menghadapi hal ini. Kalau kita melihat data dari WEF yang mengeluarkan Global Risks Report 2025, disebutkan bahwa misinformasi dan disinformasi masuk dalam Top 5 Global Risks (lima besar risiko global). Kira-kira berada di nomor tiga dari lima itu,” kata Nezar saat berbicara pada Sindonews Sharing Session di ajang iNews Media Group Campus Connect (ICC), di Universitas Tarumanegara, Jakarta Barat, Rabu (26/11/2025).
Temuan itu, menurutnya, adalah hal yang wajar di saat semua orang bisa memproduksi sekaligus mendistribusikan informasi di media sosial. Hal ini dinilai berbeda dengan media mainstream yang memiliki pemeriksaan fakta.
“Di media sosial orang boleh bebas mewartakan apa saja, mengunggah apa saja, membagikan informasi yang mereka suka dengan berbagai macam motif. Termasuk juga motif untuk membuat hoaks, disinformasi, dan misinformasi,” ucapnya.
Nezar mengungkapkan bahwa Komdigi menemukan hampir dua ribu konten hoaks sepanjang 2024.
“Data yang kami temukan, sepanjang 2024 terdapat total 1.923 konten hoaks. Angka tersebut yang tertangkap oleh Komdigi, jadi ibarat puncak gunung es. Sesungguhnya tentu saja lebih dari itu saya kira,” katanya.
Nezar meyakini temuan itu setelah adanya hasil survei Komdigi yang menemukan 11,9% responden mengakui pernah menyebarkan berita hoaks.
“Nah, ini menunjukkan bahwa masalahnya tidak hanya pada suplai hoaks, tapi juga pada kerentanan yang ada di masyarakat,” ujarnya.
(Rahman Asmardika)