JAKARTA – Sementara pertempuran antara militer Thailand dan Kamboja pecah di perbatasan, menewaskan puluhan jiwa pekan ini, “perang” lain juga terjadi di dunia maya dan media sosial antara netizen dari kedua negara. Pertukaran kata dan cemoohan yang terjadi di media sosial antara netizen Thailand dan Kamboja, bahkan para politikus, telah menjadi semakin agresif, meski pemerintah berusaha menurunkan ketegangan.
Di media sosial, para nasionalis dari kedua belah pihak telah lama berselisih mengenai beberapa hal yang menjadi kebanggaan nasional—mulai dari kepemilikan kuil dan wilayah hingga asal-usul tarian, kostum, makanan, dan olahraga tradisional.
Ketegangan yang meningkat dalam beberapa pekan terakhir, yang berpuncak pada serangan mematikan pada Kamis (24/7/2025), kini telah mendorong kaum muda di kedua belah pihak untuk saling melontarkan sindiran pedas secara daring.
Kolom komentar di unggahan media sosial tentang konflik telah berubah menjadi medan perang daring, dengan pengguna Thailand dan Kamboja saling beradu argumen serta mendukung versi resmi pemerintah masing-masing.
"Keadilan untuk Kamboja," komentar seorang pengguna Kamboja pada video TikTok seorang pengguna yang mencoba menjelaskan konflik tersebut. "Pasukan Thailand menembaki pasukan Kamboja terlebih dahulu."
"(Siapa) yang akan percaya [apa] yang dikatakan negara penipu terbesar?" jawab seorang pengguna Thailand, merujuk pada pusat-pusat penipuan yang tersebar luas di Kamboja dan telah menjebak ratusan ribu orang.
"Kamboja menembaki Thailand terlebih dahulu. Ini kebenarannya. Bergabunglah menggunakan tagar #CambodiaOpenedFire," tulis seorang pengguna Thai di X, dalam sebuah unggahan yang telah ditonton jutaan kali, sebagaimana dilansir BBC.
Sementara itu, warga Kamboja menggunakan tagar "Thailand opened fire" dan membuat video mereka sendiri tentang konflik tersebut.
Ketika hubungan bilateral merosot ke level terendah dalam satu dekade, beberapa pihak menyuarakan kekhawatiran tentang penyebaran kebencian di media sosial yang mengancam akan semakin memecah belah masyarakat kedua negara.
Asosiasi Jurnalis Kamboja dan Thailand mengeluarkan pernyataan bersama pada Mei, yang menyatakan bahwa pengguna media sosial telah "menyebarkan informasi tanpa sumber yang jelas" dan "menyebabkan kebingungan".
Kedua kelompok tersebut mendesak pengguna media sosial untuk "mempertimbangkan dengan cermat potensi konsekuensinya" saat membagikan konten terkait perbatasan.
Ada banyak titik sensitif yang digunakan para netizen di media sosial untuk memancing kemarahan dari kedua negara.
Perselisihan antara kedua negara bermula lebih dari 100 tahun lalu, ketika perbatasan keduanya ditetapkan setelah pendudukan Prancis di Kamboja.
Pada 2008, Kamboja mendaftarkan Preah Vihear, sebuah kuil abad ke-11 yang terletak di dekat perbatasan yang disengketakan, sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO—sebuah langkah yang disambut protes keras dari Thailand.
Perselisihan tersebut kemudian meluas ke kompleks kuil Ta Moan abad ke-13, yang diklaim Kamboja telah dipagari dengan kawat berduri oleh pasukan Thailand pada Kamis.
Situs-situs bersejarah ini merupakan inti dari persaingan budaya yang telah berlangsung lama antara kedua negara, yang juga meluas ke bidang olahraga, kuliner, dan busana.
Nasionalis Thailand mengecam apa yang mereka sebut sebagai pencurian budaya oleh "Claimbodia", sementara seteru Khmer mereka menjuluki orang Thailand sebagai "pencuri Siam".
Apakah agresi akan mereda masih harus dilihat, mengingat Kamboja telah menyerukan gencatan senjata.
Di Sisi Lain, Para Penentu Kebijakan Juga Saling Sindir
Di sisi lain, para penentu kebijakan di kedua belah pihak—yang juga merupakan pengguna media sosial aktif—juga saling melontarkan sindiran.
Dalam sebuah unggahan di X, Thaksin Shinawatra, mantan perdana menteri populis Thailand, mengatakan ia menghargai tawaran yang diterimanya untuk membantu memediasi permusuhan.
"Tetapi saya meminta waktu karena saya harus membiarkan militer Thailand memberi pelajaran kepada Hun Sen atas kelicikannya," tulisnya.
Hun Sen, mantan pemimpin yang kuat dan masih berpengaruh dalam politik Kamboja, membalas di akun X-nya.
"Saya tidak terkejut dengan sikap Thaksin terhadap saya, karena ia bahkan telah mengkhianati Raja Thailand serta anggota partainya sendiri," tulisnya pada hari Jumat. "Sekarang, dengan dalih membalas dendam kepada Hun Sen, ia justru menggunakan perang, yang konsekuensi akhirnya adalah penderitaan rakyat."
Eskalasi peristiwa ini sebenarnya disebabkan oleh keretakan tak terduga dalam persahabatan lama antara Hun Sen dan Thaksin Shinawatra. Hun Sen membocorkan percakapan telepon antara dirinya dan putri Thaksin, Paetongtarn Shinawatra.
Percakapan tersebut, di mana Paetongtarn—yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri—memanggilnya "paman", dan mengkritik salah satu komandan militernya sendiri, sangat memalukan baginya serta memicu kemarahan publik yang besar.
Sejak itu, ia telah diskors sebagai perdana menteri dan Mahkamah Konstitusi Thailand sedang mempertimbangkan petisi pemecatannya.
Beberapa warga Thailand percaya kebocoran percakapan telepon tersebut merupakan upaya Hun Sen untuk mengalihkan perhatian rakyatnya.
(Rahman Asmardika)