JAKARTA - Dibanding tahun-tahun sebelumnya, boleh jadi 2009 merupakan yang paling gencar para anak bangsa menunjukkan eksistensinya di dunia automotif dalam negeri.
Mau bukti? Mungkin hanya di tahun inilah nama-nama seperti Arina, GEA, Tawon, Komodo, Esemka, hingga Wakaba bermunculan di peta automotif Indonesia.
Mereka memang bukan 'sesepuh' automotif seperti General Motors (GM) atau pun Chrysler. Mereka juga bukan raksasa Jepang yang mau menyaingi Toyota, bahkan mereka juga bukan seperti duo jagoan negeri gingseng Hyundai dan Kia. Tapi mereka murni hasil kreasi masyarakat Indonesia.
Ya! Apalagi kalau bukan mobil nasional (mobnas). Mungkin hanya di tahun inilah mereka main gencar menunjukkan pada segenap rakyat Indonesia lain bahwa anak-anak bangsa juga bisa seperti GM, Toyota, maupun Hyundai.
Segmen yang digarap pun cukup beragam. Tengok saja Arina dan GEA yang menyasar posisi sebagai kendaraan micro car. "Kami micro car bukan city car," tegas pencetus Arina, Widya Aryadi.
Menurutnya, mobil kreasi mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNS) tersebut diambil dari basis sepeda motor. "Kalau city car mobil yang dibuat mungil, tapi kalau micro car, motor yang dibesarkan dibentuk seperti mobil," paparnya.
Untuk Tawon, rupanya malah memposisikan sebagai city car. Berbekal mesin berkapaitas silinder kecil dan juga tersedia varian bahan bakar CNG, mobil ini memang cocok dipakai sebagai kendaraan perkotaan. Apalagi dengan hadirnya versi pikap, tentu akan jadi kendaraan alternatif untuk mereka yang ingin membutuhkan kendaraan komersial dengan harga yang bersahabat.
Berbeda dengan Arina dan Tawon, Komodo malah menyasar segmen kendaraan offroad. LIhat saja bentuknya yang hanya terdiri dari tiang-tiang penyangga tanpa kehadiran body yang menutupi seluruh bagian mobil. Belum lagi ban khas kendaraan medan ekstrim yang dipadu suspensi independen, membuat Komodo, seperti namanya, mampu melibas berbagai medan jalan.
"Komodo memang berbeda dibanding Arina, karena kita khusus untuk mobil diperkebunan atau perbukitan," jelas Commercial & Marketing PT Fin Tetra Indonesia, Dewa Yuniadi.
PT Fin Tetra Indonesia yang berlokasi di Cimahi, Bandung, Jawa Barat, memang tempat Komodo 'dilahirkan'. Ia menegaskan, mobil mini itu merupakan alternatif kendaraan untuk medan-medan ekstrim. "Kita lebih aman dibandingkan motor trail, tapi lebih hemat dari pada menggunakan mobil double cabin," katanya.
Menarik memang, dengan banderol harga berkisar Rp50 juta - Rp60 juta, konsumen bisa mendapatkan kendaraan tersebut yang kemampuannya ketika kami tes tidak kalah dengan mobil-mobil offroad keluaran merek asing.
Bila ingin yang real double cabin, coba saja alihkan pandangan pada kreasi siswa-siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 1 Singosari, Jawa Tengah. Melalui Digdaya, mereka hadirkan double cabin yang tak kalah dengan Mitsubishi Strada Triton, Ford Ranger, Toyota Hilux, Nissan Frontier, ataupun Isuzu D-Max.
Jangan tanya soal harga, sebab jika mereka jadi memasarkannya untuk konsumsi massal, maka mereka hanya mematok banderol sebesar Rp150 jutaan.
Kalau Indonesia sudah punya micro car, city car, pikap, kendaraan offroad, hingga double cabin, lantas apa yang kurang agar negara ini punya kendaraan produksi dalam negeri? Toh mereka tinggal memproduksi massal maka seluruh rakyat Tanah Air bisa mengkonsumsinya?
Ternyata selama ini mereka berjuang sendirian. Sebab kehadiran mobil-mobil karya anak bangsa ini hanya sekedar dibuat dalam jumlah terbatas, tidak ada langkah strategis dari berbagai pihak terkait yang ingin memajukan kreasi mereka. "Untuk bisa produksi massal kami butuh sponsor, karena dananya memang tidak sedikit," ungkap Widya.
Masalah ini pun diamini para tim pencetus Komodo. Ujar Dewa, Komodo sebenarnya sudah memiliki 'penggemar' karena banyaknya permintaan terhadap kendaraan tersebut. "Tapi kita malah tidak berani ambil order banyak karena untuk memproduksi dalam jumlah banyak butuh modal besar, kita tidak mampu untuk itu," tukasnya.
Lantas kapan mereka akan dilirik oleh pemerintah sebagai suatu aset yang patut diperhitungkan bukan saja mendahulukan para agen tunggal pemegang merek (ATPM) asing?
Bukankah lebih bijaksana jika dalam daftar Gabungan Industri Kkndaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) nama-nama seperti Arina, GEA, Tawon, Komodo, dan Esemka juga ada? Mengingat Gaikindo adalah bentukan orang Indonesia yang selama ini isinya hanya ATPM asing.
Mengutip kata-kata Kepala Sekolah SMK 1 Singosari, Bagus Gunawan, kini saatnya mobil nasional unjuk gigi melawan ATPM asing. "Karena saya yakin biar bagaimana pun jiwa nasionalisme setiap warga negara Indonesia pasti masih ada jauh dilubuk hatinya!" tegas dia.
Kalau begitu pertanyaannya sekarang, masihkah ada jiwa nasionalisme dalam sanubari pemerintah karena masih mengagung-agungkan ATPM asing?
(Syukri Rahmatullah)