Menurut pernyataan PBB, konvensi ini menargetkan berbagai pelanggaran, mulai dari phishing dan ransomware hingga perdagangan daring dan ujaran kebencian. PBB mengutip perkiraan bahwa kejahatan siber merugikan ekonomi global triliunan dolar setiap tahunnya.
Meskipun bertujuan mulia, para kritikus memperingatkan bahwa definisi kejahatan yang samar-samar dalam perjanjian tersebut dapat memungkinkan adanya penyalahgunaan.
Aliansi Teknologi Keamanan Siber (Cybersecurity Tech Accord), yang beranggotakan Meta dan Microsoft, menyebut pakta ini sebagai "perjanjian pengawasan". Mereka mengatakan bahwa perjanjian tersebut dapat memfasilitasi pembagian data antar pemerintah dan mengkriminalisasi peretas etis (ethical hackers) yang menguji kerentanan sistem.
Menanggapi hal ini, Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) yang memimpin negosiasi, menyatakan bahwa perjanjian tersebut telah mencakup ketentuan untuk melindungi hak asasi manusia dan mendorong kegiatan penelitian yang sah.
Peran Vietnam sebagai tuan rumah juga memicu kontroversi. Departemen Luar Negeri AS baru-baru ini menyoroti "masalah hak asasi manusia yang signifikan" di negara tersebut, termasuk penyensoran daring. Human Rights Watch juga melaporkan setidaknya 40 orang telah ditangkap tahun ini karena mengungkapkan perbedaan pendapat secara daring.