Antara 2009 dan 2017, tercatat hanya 2 miliar dolar AS atau sekitar Rp30 triliun yang dihabiskan. Namun, angka tersebut melonjak menjadi 3,6 miliar dolar AS pada 2018, dan naik menjadi 4,3 miliar dolar AS pada tahun lalu.
CSIS menyatakan bahwa perkiraan mereka "sangat konservatif" dan tidak memperhitungkan semua tingkat dukungan pemerintah. Ini termasuk insentif lokal, hadiah tanah, diskon listrik, dan subsidi pemasok.
Sebagai contoh, raksasa baterai CATL dilaporkan mendapat subsidi sebesar 809,2 juta dolar AS tahun lalu. Jumlah tersebut lebih dari sepuluh kali lipat dari apa yang mereka dapatkan pada 2018 dan hampir dua kali lipat dari yang mereka terima pada 2022.
Hal ini telah menimbulkan masalah karena negara tersebut dikatakan memiliki lebih dari 200 perusahaan kendaraan listrik, dan hanya sedikit yang dikatakan menghasilkan keuntungan. Ada juga kelebihan pasokan kendaraan listrik, yang menjelaskan perang harga di dalam negeri serta meningkatnya fokus pada pasar internasional.
(Erha Aprili Ramadhoni)