JAKARTA – Sebuah studi mengatakan jika kiper memproses dunia di sekitar mereka dengan cara yang berbeda. Misal saja, banyaknya 11 pemain dalam sebuah tim sepak bola, namun sang kiper berdiri sendiri, dengan mengenakan seragam yang berbeda, bermain dengan peraturan yang berbeda, dan sering kali diposisikan jauh dari rekan setimnya.
Sejumlah peneliti di Irlandia mengamati sekelompok orang yang terdiri dari 60 orang, termasuk pemain sepak bola profesional dengan 20 kiper dan 20 pemain lapangan, serta 20 orang yang tidak bermain sepak bola sama sekali.
Dilansir dari situs Science Alert, Selasa (17/10/2023) ahli saraf perilaku dan mantan kiper professional dari Dublin City University, Michael Quinn, mengungkapkan jika seorang kiper tidak seperti pemain sepak bola mereka. Mereka diharuskan membuat ribuan keputusan yang cepat berdasarkan informasi sensorik yang terbatas.
"Tidak seperti pemain sepak bola lainnya, penjaga gawang diharuskan membuat ribuan keputusan yang sangat cepat berdasarkan informasi sensorik yang terbatas atau tidak lengkap," ungkapnya.
"Hal tersebut membuat kami memprediksi bahwa kiper akan lebih mampu menggabungkan informasi dari indera yang berbeda, dan hipotesis ini dikonfirmasi oleh hasil penelitian kami." Lanjutnya.
Uji coba dilakukan guna menguji sejauh mana para partisipan penelitian dapat memproses dan menyatukan informasi yang masuk dari indera mereka - secara teknis, jendela pengikatan temporal.
Dalam setiap tes, satu atau dua kilatan (rangsangan visual) ditampilkan dan disertai dengan satu, dua, atau tanpa bunyi bip (rangsangan pendengaran).
Dalam pengujian dengan satu kilatan dan dua bunyi bip, sebagian besar orang mengira bahwa mereka melihat dua kilatan, yang menunjukkan efek integrasi rangsangan visual dan pendengaran yang tidak beres. Seiring dengan bertambahnya waktu di antara rangsangan, maka kesalahan semakin jarang terjadi, sehingga memberikan cara untuk mengetahui batas waktu ikatan sementara.
Menariknya lagi, para kiper menunjukkan lebih sedikit interaksi antara rangsangan visual dan pendengaran, yang menunjukkan bahwa mereka lebih cenderung membedakan sinyal-sinyal sensorik. Persoalan selanjutnya adalah apakah pemrosesan multisensorik yang superior ini adalah alasan orang-orang ini menjadi kiper, atau karena mereka memainkan posisi kiper.
"Mungkinkah jendela pengikatan sementara yang lebih sempit diamati pada penjaga gawang berasal dari rutinitas latihan ketat yang dilakukan para penjaga gawang sejak usia dini?" kata psikolog David McGovern, dari Dublin City University.
"Atau apakah mungkin perbedaan dalam pemrosesan multisensorik ini mencerminkan kemampuan alamiah yang melekat yang mendorong para pemain muda untuk memilih posisi kiper?"
Kemungkinan besar, kiper dituntut untuk mengartikan isyarat visual dan pendengaran dengan sangat cepat, terutama saat bola ditendang dan melayang di udara. Namun, hal ini tergantung di mana hal ini terjadi di lapangan, apakah seorang kiper harus memberikan reaksi atau tidak.
Para tim peneliti berencana untuk mengembangkan studi ini di masa mendatang guna melihat posisi-posisi spesialis lainnya, seperti penyerang dan bek tengah, apakah terdapat perbedaan signifikan dalam pemrosesan multisensorik mereka.
"Meskipun banyak pemain sepak bola dan penggemar di seluruh dunia akan terbiasa dengan gagasan bahwa penjaga gawang hanya berbeda dari kita semua, penelitian ini mungkin merupakan yang pertama kalinya kami membuktikan bukti ilmiah untuk mendukung klaim ini," tutup McGovern. (Salsabila Nur Azizah)
(Saliki Dwi Saputra )