JAKARTA – Kehadiran Starlink di Indonesia memunculkan kontroversi dan polemik, selain juga antusiasme dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat awam, pengamat, hingga pelaku industri telekomunikasi.
Kontroversi terkait Starlink muncul dari kalangan para pelaku industri telekomunikasi, terutama penyedia layanan internet lokal. Pasalnya, Layanan internet milik miliarder Amerika Serikat (AS) Elon Musk itu berpotensi memunculkan persaingan yang tak adil dengan perlakuan “karpet merah” yang diberikan pemerintah.
Kekhawatiran ini disuarakan Sejumlah pemain besar industri telekomunikasi seperti Telkomsel dan XL Axiata. Mereka meminta pemerintah untuk tidak memberikan “karpet merah” bagi Starlink dan memastikan adanya persaingan yang adil.
“Harapan kami adalah perlunya penerapan regulasi yang seimbang dari pemerintah sehingga tercipta adanya playing field yang sama antara Starlink tersebut dengan operator yang ada, seperti dikenakan PNBP sektor telekomunikasi (BHP,USO,BHP Tel), TKDN dan lain-lain,” kata Head External Communications XL Axiata, Henry Wijayanto dalam sebuah pernyataan.
Polemik lainnya terkait Starlink disuarakan oleh pakar keamanan siber, yang mengkhawatirkan kurangnya kontrol pemerintah dan potensi campur tangan asing dengan penggunaan satelit Starlink yang notabene merupakan perusahaan asing.
Pakar Keamanan Siber Pratama Persadha, menyarankan agar pemerintah tidak menggunakan Starlink untuk layanan di sektor vital seperti kesehatan dan keamanan perbatasan.
"Sektor kesehatan seperti yang dilayani Starlink saat dilakukan pembukaan layanan ini atau pertahanan dan keamanan nasional seperti pos penjagaan di perbatasan negara atau sektor yang merupakan infrastruktur kritis untuk tidak memanfaatkan layanan ini," ujarnya.
Menurutnya, dioperasikannya satelit Starlink oleh perusahaan asing dapat menyebabkan negara menjadi kurang memiliki kontrol langsung atas infrastruktur yang digunakan.
"Ketergantungan yang berlebihan pada layanan internet satelit yang dioperasikan oleh perusahaan asing dapat membuat negara menjadi lebih rentan terhadap campur tangan asing dalam operasional infrastruktur komunikasinya," terangnya.
Selain itu ada juga polemik terkait Network Operation Center (NOC) milik Starlink yang dilaporkan masih menggunakan NOC di Amerika Serikat. Padahal NOC lokal, yang dibangun di Indonesia diperlukan untuk mempermudah kerja sama Starlink dengan pemerintah, terutama dalam upaya memberantas konten ilegal seperti judi online atau pornografi.
Menjawab kontroversi dan kekhawatiran tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informastika (Kominfo) sebagai regulator layanan telekomunikasi Indonesia memastikan bahwa Starlink harus memenuhi semua peraturan dan kewajiban yang dibebankan pemerintah kepada setiap operator seluler atau operator telekomunikasi di Indonesia.
“Pokoknya, apa yang dibebankan kepada operator seluler atau operator telekomunikasi di Indonesia harus juga sama dibebankan kepada Starlink, supaya level of playing field-nya sama,” kata Budi Arie. Dia menegaskan bahwa tidak ada perlakuan “karpet merah” bagi Starlink.
Hal ini juga berlaku untuk semua persyaratan dan perizinan bagi Starlink untuk beroperasi di Indonesia, termasuk evaluasi keamanan dan penggunaan NOC lokal.
Kominfo telah mengonfirmasi bahwa Starlink telah memiliki NOC di Indonesia, yang berada di Kawang dan Cibitung, Jawa Barat. Menurut pihak Kominfo, adanya NOC di Indonesia adalah salah satu syarat kelulusan Uji Laik Operasi (ULO) bagi penyelenggara internet di Indonesia.
"Sudah ada (NOC di Indonesia). Kan kalau uji laik operasi mengecek semuanya, kita ngecek semuanya," kata Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kementerian Kominfo, Aju Widya Sari.
Kominfo juga menegaskan akan terus melakukan evaluasi berkala untuk melihat kepatuhan dan keamanan Starlink.
Namun, di sisi lain Masyarakat Indonesia yang menginginkan akses internet berkecepatan tinggi yang merata di berbagai wilayah di Tanah Air menyambut Starlink dengan antusias. Starlink, yang berbasis teknologi satelit, menjanjikan layanan tersebut, bahwa hingga di daerah pelosok yang tidak terjangkau oleh jaringan kabel optik.
Starlink juga menawarkan harga yang relatif bersaing, dengan paket personal dan bisnis. Memang tarif yang ditawarkan tergolong lebih tinggi dibandingkan dengan provider lokal, namun Starlink menyediakan kecepatan internet yang relatif cepat dan jangkauan yang lebih luas.
Sambutan positif juga datang dari pemerintah yang berharap Starlink dapat membantu Indonesia mengatasi masalah keterbatasan internet di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), yang berada di pelosok-pelosok wilayah Indonesia.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi juga mengatakan bahwa pemerintah saat ini memfokuskan Starlink untu pelayanan sektor pendidikan dan kesehatan. Ini tampaknya coba ditunjukkan dengan penggunaan Starlink di tiga Puskesmas di wilayah Bali dan Maluku, yang diumumkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kala Musk meresmikan peluncuran bisnisnya tersebut.
Meski memiliki kekhawatiran, operator telekomunikasi Indonesia berharap kehadiran Starlink akan membuka potensi kolaborasi yang dapat bermanfaat bagi industri telekomunikasi dan masyarakat Indonesia.
Starlink masih baru akan mulai beroperasi di Indonesia dan telah mengundang antusiasme dan polemik di kalangan masyarakat dan pelaku industri. Terlepas dari hal ini, kehadiran Starlink diharapkan dapat memberi manfaat dan mendorong kemajuan bagi rakyat Indonesia.
(Rahman Asmardika)