JAKARTA - HAARP yang menjadi teknologi pengatur cuaca buatan Amerika Serikat dianggap sebagai senjata dajjal. Namun, proyek ini memiliki beberapa tujuan utama demi kemajuan teknologi, di mana komunikasi radio dianggap sebagai fokus utamanya.
Dimuat di situs LiveScience, HAARP adalah program penelitian yang dirancang untuk menganalisis ionosfer, bagian dari atmosfer atas yang membentang dari sekitar 53 mil (85 kilometer) di atas permukaan Bumi hingga 370 mil (600 km). Program ini didanai oleh Angkatan Udara, Angkatan Laut, Universitas Alaska, dan DARPA (Defense Advanced Research Projects Agency).
HAARP beroperasi dari Stasiun Penelitian HAARP di Gakona, Alaska, di mana ia memiliki pemancar frekuensi radio berdaya tinggi yang dapat mengganggu sebagian kecil ionosfer. Instrumen lain kemudian digunakan untuk mengukur gangguan itu.
Tujuan program ini adalah untuk mempelajari fisika ionosfer, yang secara terus-menerus dipengaruhi oleh aktivitas matahari. Pijar matahari memiliki kemampuan untuk mengirimkan partikel matahari ke Bumi, yang dapat mengganggu jaringan listrik dan komunikasi.
Para ilmuan mungkin dapat mengatasi masalah itu jika mereka memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa yang terjadi pada ionosfer.
Namun teknologi ini sedang ramai diperbincangkan karena dituduh jadi penyebab gempa Turki yang menewaskan lebih dari 20 ribu orang. Banyak orang yang menggunakan media sosial berpikir bahwa HAARP digunakan untuk menghukum Turkiye karena menolak bekerja sama dengan Barat.
“Tidak ada yang namanya kebetulan," kata seseorang warganet di X.
Frank Hoogerbeets, seorang ahli seismologi Belanda, telah meramalkan gempa tersebut. Dia meramalkannya tiga hari sebelum bencana.
"Cepat atau lambat akan terjadi ~M. 75 gempa bumi di wilayah ini (Turki Tengah-Selatan, Yordania, Suriah, Lebanon)," tulisnya sebelum gempa di X.
“Gempa bumi besar di Turki Tengah telah menyebabkan perubahan signifikan pada distribusi tegangan di seluruh wilayah, dengan aktivitas seismik yang sampai ke Palestina sebagai akibatnya. Jelas, wilayah tersebut mengalami perpindahan penduduk,” tulis Frank dalam ciutannya.
Namun, tidak ada satupun pernyataan atau komentar yang disampaikan oleh pejabat Turki. Sebaliknya tuduhan hanya dari para pengguna media sosial. Akibatnya, tuduhan tersebut tidak mendapat tanggapan dari Amerika Serikat.
Menurut sebuah studi tahun 2017 yang dipublikasikan di Science Advances, baik gempa bumi yang terjadi secara alami maupun gempa bumi yang disebabkan oleh aktivitas manusia memiliki potensi guncangan dan kerusakan yang sama.
Program penelitian yang saat ini menjadi pusat dari isu yang beredar tidak pernah mengklaim bahwa mereka memiliki kekuatan untuk menimbulkan gempa bumi. Pada bulan Oktober 2022, HAARP memulai serangkaian eksperimen terbesarnya di observatorium barunya, tetapi tidak menyebutkan gempa bumi. (Salsabila Nur Azizah)
(Saliki Dwi Saputra )